Selasa, 23 September 2014

Cup Es Krim Stroberi

  
                Rara dan Ciko bersahabat cukup lama, sedari kami kecil. Kini mereka sudah berumur 10 tahun, dan menduduki kelas 5 sekolah dasar. Ciko sangat tau sekali kesukaan Rara, es krim rasa stroberi. hampir setiap kali penjual es krim langganan lewat, ia selalu membelikannya untuk Rara. Hari itu mereka sengaja untuk menunggu penjual es krim langganannya. Ya, dan sudah mulai terdengar.
“Es krim.. es krim..” kata penjual es krim langganan.
“Pak, aku mau beli es krim cup 2, yang satu rasa stroberi dan satunya rasa coklat”, kata Ciko pada penjual es krim langganan.
“Ini, dek..”, jawab penjual es krim. “Terima kasih, Pak” ujar Ciko.
Lalu Ciko memberikan es krim stroberinya kepada Rara. Rara sangat suka sekali dengan es krim pemberian Ciko, sahabatnya.
“Terima kasih, Ko”, ucap Rara. “Ya, sama-sama”, jawab Ciko.
Mereka pun menikmati es krim tanpa suara. Sampai akhirnya es krim milik Rara hampir habis, dan tiba-tiba..
Praak
“Cikoo!!”, bentak Rara pada Ciko. “Maaf Ra, maaf. Aku tak sengaja. Aku belikan lagi saja ya, maaf Ra”, ujar Ciko yang ternyata telah menyenggol es krim milik Rara.
“Sudah, tidak usah! Kenapa sih tidak bisa sedikit lebih hati-hati!”, bentak Rara kesal. “Maafkan aku, Ra”, ucap Ciko lagi.
“Aku mau pulang! Aku sebel sama kamu!”, ucap Rara yang sedikit membuat Ciko merasa bersalah.
                Ciko kebingungan, apa yang harus ia lakukan supaya Rara memaafkannya. Akhirnya Ciko pun pulang ke rumahnya dengan wajah yang tidak menyenangkan. Di lain sisi, Rara bersedih karna tetesan terakhir es krim kesukaannya dijatuhkan oleh Ciko, sahabatnya. Rara kesal, dan sesampainya ia di rumah, ia meluapkan kemarahannya pada mamanya. Sang mama pun sempat bingung mengapa Rara, putri kesayangannya marah-marah tidak jelas, tidak seperti hari biasanya.
“Kamu kenapa, Ra?” Tanya mama. “Aku tidakpapa, ma. Aku kesal sama Ciko. Dia sudah menjatuhkan es krim kesukaanku. Aku sebal sama dia, ma”, jawab Rara dengan nada sangat kesal.
“Nanti mama belikan lagi, ya”, ucap mama baik hati. “Tidak usah ma, andai Ciko sedikit lebih hati-hati pasti kan tidak akan jatuh. Aku benci Cikooo!” teriak Rara yang terdengar sampai keluar rumah. Tiba-tiba ada yang memanggil Rara dari luar rumahnya.
“Ma, itu siapa?” Tanya Rara kebingungan. “Ayo, keluar”, ajak mama.
Setelah Rara dan mama keluar, ternyata yang dating ialah kakeknya dari Bandung.
“Kakek..” panggil Rara sambil menghampiri dan memeluk kakeknya. “Rara.. kamu kenapa? Kok tadi kakek dengar kamu teriak-teriak, terdengar loh sampai ke luar”, ujar sang kakek.
“Ah, itu. Aku sedang sebal sama Ciko. Dia sudah menjatuhkan es krim kesukaanku”, jawab Rara dengan wajah cemberut. “Sudah, nanti kakek belikan lagi ya..”, ucap kakek berbaik hati. “Aku tidak mau, kek. Aku benci sama Ciko!”, ucap Rara. “Rara, tak boleh begitu, dia sahabatmu loh..” ujar kakek. “Sekarang tidak lagi, kek!”, jawab Rara tegas.
                Sejak saat itu, Rara tidak mau berteman lagi dengan Ciko. Rara juga sudah tidak pernah lagi membeli es krim di penjual es krim langganannya dulu. Dan sekarang, Rara tidak suka es krim rasa stroberi. Karena di Bandung kakeknya tinggal seorang diri, maka Rara memutuskan untuk pindah ke Bandung. Mengetahui Rara yang hendak pindah ke Bandung, Ciko terkejut. Ia benar-benar ingin meminta maaf pada Rara. Hingga pada hari dimana Rara berangkat ke Bandung, Ciko mampir ke rumah Rara tanpa mengkhawatirkan akan terlambat berangkat sekolah hanya untuk menemui Rara. Ia masih ragu, takut Rara masih marah padanya. Namun, Rara sudah di depan mata, dan mau tidak mau Ciko harus berbicara pada Rara, agar waktu yang sengaja ia korbankan tidak sia-sia.
“Rara.. Ra..”, panggil Ciko dari balik pohon. Rara bingung, ada suara yang memanggilnya, tetapi tidak ada wujud yang ia lihat.
“Ra..”, panggil Ciko lagi yang sudah berani menampakan diri. “Ciko. Mau apa kamu ke sini? Aku malas bertemu denganmu lagi!”, bentak Rara. “Aku cuma mau minta maaf tentang masalah es krim itu Ra”, ujar Ciko dengan raut wajah memelas.
“Akan aku maafkan setelah kamu ubah namamu. Agar kamu lebih hati-hati lagi”, ucap Rara. “Sudah sana pergi. Kau harus sekolah. Sana pergi!”, sambung Rara lagi. Dengan tak banyak kata, Ciko langsung pergi ke sekolah. Ciko dating sangat terlambat, sehingga ia harus mendapat hukuman dari ibu guru.
                Tidak terasa sudah hampir lima tahun berlalu. Hari-hari yang Ciko lalui tanpa sewaktu pun melihat Rara, membuatnya rindu kepada Rara. Sekarang Ciko sudah menduduki bangku sekolah menengah atas kelas 10. Karena kepintarannya, Ciko dapat masuk ke sekolah favorit di daerahnya. Ciko yang sekarang berubah nama panggilan menjadi Putra. Setelah dua bulan Putra (Ciko) menjalani kegiatan belajar mengajar di sekolahnya, kedapatan murid baru pindahan dari Bandung, ia bernama Mira. Mira ialah gadis cantik, berkulit putih, dan cukup tinggi. Ia juga mengenakan hijab. Pada hari pertamanya itu, Mira menduduki bangku di sebelah Putra. Putra yang berada di sampingnya mengajaknya berkenalan.
“Putra, kamu?”, ujar putra. “Mira”, jawab Mira dengan senyuman.
Setelah perkenalannya itu, akhirnya Mira dan Putra menjadi dekat. Mereka hampir selalu berkelompok bersama. Belajar bersama, dan main pun bersama.
                Disaat mereka kedapatan kerja kelompok bersama, tiba-tiba ada penjual es krim keliling. Lalu dipanggilnya penjual es krim tersebut oleh Putra.
“Pak, beli es krimnya 2, satu stroberi dan satu coklat”, ucap Putra. Mendengar ucapkan Putra, seketika membuat Mira ingat dengan teman masa kecilnya.
“Mira, ini buat kamu”, ujar Putra yang sambil menyodorkan es krim rasa stroberi pada Mira. Mira semakin bingung dengan pilihan rasa stroberi yang Putra berikan padanya.
“Es krim?”, Tanya Mira tak percaya. “Iya, kenapa Mir? Kamu ngga suka ya?”, tanya Putra balik.
“Hmm, ngga kok. Aku suka es krim, apalagi rasa stroberi. Makasih ya, Put”, ucap Mira sambil senyum lebarnya. “Sama-sama, Mira”, ujar Putra, “Kau mengingatkanku pada teman kecilku”, ucap Putra pelan. “Haa? Apa? Tadi kau bilang apa Put?”, tanya Mira penasaran, “Oh, tidak. Sudah makan dulu es krimnya, nanti meleleh”, jawab Putra gagap.
“Sudah selesai, kan?”, tanya Mira. “Sudah, Mir”, jawab Putra, “Kau mau aku antar pulang?”, lanjut Putra. “Ah, tidak usah. Aku pulang sendiri saja, dekat kok”, jawab Mira. “Yaudah, hati-hati ya”, ujar Putra. “Iya, kau juga Put”, jawab Mira.
                Suatu hari secara kebetulan, Mira dan Putra pulang bersama. Secara tiba-tiba, penjual es krim lewat, lalu Putra memanggilnya.
“Es krimnya 2, satu stroberi dan satunya coklat”, ucap Putra yang membuat memori Mira terpontang panting mengingat sahabat masa kecilnya, Ciko.
“Ini Mir, untukmu”, ujar Putra yang sambil menyodorkan es krim stroberi pada Mira. Mira masih melamun, merenungi sahabat masa kecilnya, Ciko. “Mira..”, ucap Putra yang sedikit keras mengagetkan Mira. “Oh, iya. Terimakasih Put”, ucap Mira masih dengan raut wajah tampak kebingungan.
Dulu, waktu Rara masih kecil, Ciko selalu membelikan ia es krim stroberi. Dan yang masih terpikirkan, Putra juga selalu memesan rasa yang sama dengan yang Ciko pesan semasa kecil. “Ah, mungkin perasaanku saja”, ucap Mira dalam hati.
                Putra merasa ia pernah bahkan sering melewati jalan yang akan menuju ke rumah Mira. “Ini seperti jalan ke rumah Rara”, batinnya.
“Mira..”, panggil Putra yang berada sedikit di belakang Mira. “Iya, Put?”, tanya Mira. “Ini seperti jalan menuju rumah teman masa kecilku, hahaha”, ucapnya sambil tertawa. “Iyakah? Siapa nama teman masa kecilmu itu, Put?”, tanya Mira penasaran. Lalu Mira dan Putra duduk di bangku kayu jati di pinggir jalan yang ditemuinya saat mereka jalan bersampingan.
“Namanya, Rara. Ia sahabatku semasa kecil. Namun sayang ia sudah pindah”, jawab Putra membuat Mira terkejut. “Pindah kemana?”, tanya Mira lagi. “Pindah ke Bandung, ia sahabat kesayanganku semasa kita masih sama-sama kecil. Aku menyayanginya. Namun sayang, dia meninggalkanku disaat kita sama-sama duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar”, jawab Putra membuat mata Mira terlihat berkaca-kaca. “Mengapa ia pindah? Sesayang apa kau padanya?”, tanya Mira lagi. “Aku tidak tau jelasnya. Yang jelas waktu itu aku dan dia sedang bermasalah. Dia lucu, masa cuma gara-gara es krimnya yang aku jatuhkan secara ngga sengaja, dia jadi marah, yaa dan mungkin itu yang menyebabkan dia pindah ikut kakeknya”, jawab Putra yang secara tidak sengaja meneteskan air mata. “Lalu? Kau masih sayang padanya?”, tanya Mira lagi yang semakin penasaran dengan mata yang berkaca-kaca. “Masih, aku menyukainya, sejak dulu. Namun, aku tidak tau deh. Dia juga sangat membenciku sekarang, berkirim kabar pun tidak pernah. Dia masih kesal mungkin. Hahaha”, jawab Putra diakhiri dengan tertawa kecil yang sangat tidak ikhlas. “Itukah yang menjadi alas an mengapa kamu selalu membelikanku es krim stroberi?”, tanya Mira untuk yang ke sekian kalinya. “Iya, karna dia menyukai bahkan sangat suka pada es krim stroberi. Dan es krim rasa stroberi yang aku jatuhkan pada waktu itu. Aku sangat rindu padanya, Mir. Aku juga ngga tau sekarang dia kayak apa. Hmmm, lebih cantik mungkin. Haha”, jawab Putra diakhiri dengan ketawa kecil. “Ciko?”, ucap Mira membuat Putra terkejut dan langsung menatap mata Mira yang telah memanggil dengan nama panggilan sewaktu kecilnya dulu. “Kamu panggil apa aku?”, tanya Putra terkejut. “Ciko. Kamu Ciko. Kamu sahabat kecilku. Kamu yang telah menjatuhkan es krim stroberiku. Iya, kamu. Ciko!”, ucap Mira yang membuat Putra sangat terkejut. “Kamu.. Kamu.. Jadi, kamu Rara?”, tanya Putra dengan spontanitas ia langsung berdiri. “Iya, aku Rara”, jawabnya sambil meneteskan air mata. “Aku udah maafin kamu, Ciko. Dan alasan kepindahanku bukan karna kamu. Tapi karna kakekku yang tinggal seorang diri di Bandung”, lanjut Rara sambil menangis sangat deras di depan sahabat masa kecilnya, Ciko. “Rara? Ini beneran kamu?”, tanya Ciko tak percaya. “Iya, Ciko. Ini aku, Rara, sahabat masa kecilmu. Teman makan es krim. Dan teman sepermainanmu, dulu”, jawab Rara. “Aku tak percaya, sekarang aku berhadapan dengan sahabat masa kecilku. Kamu terlihat semakin cantik”, ujap Ciko. “Ciko..”, ucap Rara sambil memeluk Ciko, sahabat masa kecilnya dulu.
“Ra.. kamu harus ikut aku”, ujar Ciko sambil menarik Rara yang hendak dibawanya pada suatu tempat. “Kemana?”, tanya Rara.
                Ternyata, Ciko membawa Rara pada tempat terakhir kali mereka berteman sewaktu kecil. Ya, di tempat dimana Ciko menjatuhkan es krim stroberi milik Rara.
“Kamu masih ingat ini, Ra?”, tanya Ciko. “Tentu saja, kamu menjatuhkan es krim stroberiku di sini, kan. Hahaha”, jawab Rara sambil tertawa. “Maafkan aku ya, Ra. Aku benar-benar tak sengaja”, ucap Ciko. “Sudah aku maafkan sebenarnya, hanya saja aku kesal. Kamu tidak berhati-hati, sih..”, jawab Rara dengan tertawa. “Ini, Ra”, ucap Ciko sambil menyodorkan suatu benda tua pada Rara, “Ini cup es krimmu yang sengaja aku simpan setelah aku menjatuhkan es krim stroberimu, Ra”, ujar Ciko sambil tersenyum. “Kamu menyimpan sebuah cup es krim? Untuk apa coba?”, jawab Rara sedikit sombong. “Karena aku berharap suatu saat nanti, aku bias bertemu lagi denganmu dengn keadaan kamu yang sudah maafin aku. Karena aku ngga mau kehilangan sahabat kesayanganku”, jawab Ciko dengan senyum membuat jantung Rara seolah berhenti berdetak. Keheningan yang timbul diantara mereka berdua, dapat dipecahkan oleh ucapan Rara, “Aku juga menyayangimu, sahabatku”.
                Ciko lalu memeluk erat Rara seolah tak ingin kehilangan sahabatnya lagi. Dengan menyimpan cup es krim stroberi milik Rara yang dulu sempat dijatuhkan oleh Ciko dan diisi dengan suatu harapan-harapan Ciko untuk bertemu dan bersatu dengan Rara kini telah dikabulkan oleh Tuhan. Ciko tidak pernah berputus asa untuk bersatu kembali dengan sahabat masa kecilnya, Rara. Ia sangat menyayangi Rara hingga sekarang mereka telah sama-sama sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Hingga saat ini, mereka selalu sebut diri mereka dengan, SAHABAT CUP ES KRIM STROBERI~

Kamis, 30 Mei 2013


Suatu Hari

Kamis pagi, aku berangkat ke sekolah berbeda tampilan dengan kawan-kawanku. Aku memakai baju hijau sendiri, sedangkan lainnya memakai baju biru. Entah apa yang harus kuucapkan pada mereka, aku terdiam dan merasa bersalah. Satu kata yang terucap 'maaf' dari mulutku.
Aku sendiri di ruang kelas, yang lain sudah siap menuju lapangan basket. Entah apa yang harus ku lakukan, sedangkan aku hanya sendiri. Kesepianku bertambah disaat melihat hanya diriku yang menulis cerita.
Mungkin hanya aku dan kenangan, tak mungkin ada pengalaman baru. Hari-hari lain terlihat ramai, sekarang hanya bisa memanggil namaku sendiri. Entah apa yang harus ku lakukan.
Tiba-tiba teman-temanku masuk ke ruang kelas dengan raut wajah yang sedih. Mungkin memang kali ini aku yang salah, dan aku berusaha menenangkan hati teman-temanku. Semua pun mencoba berfikir, tak kecuali aku. 
Setelah berfikir yang cukup lama, akhirnya jalan keluar pun aku dan teman-temanku dapatkan. Syukurlah, kami berterima kasih sekali, dan akhirnya kami jalani bersama-sama lagi.